Laman

Perselisihan kerajaan Sambaliung dan Gunung Tabur










Perselisihan kerajaan Sambaliung dan Gunung Tabur
Sejak zaman dulu, jika dalam satu wilayah terdapat dua kerajaan seringkali tidak pernah akur. Seperti halnya Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung yang pada dasarnya masih mempunyai ikatan darah atau satu keturunan.
BANYAK alasan timbulnya perpecahan dalam kerajaan. Salah satunya kalau masuk pihak ketiga yang punya tujuan tertentu, sehingga melakukan penghasutan. Misalnya ketika Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan.
Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung. Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung  berada di tepi Sungai Kelay, dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda.
Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya. Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya.
Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak.                                                                                            
Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat.  Namun secara diam-diam pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan keterlibatan Sambaliung.
Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan.
Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang orang Bugis dan Solok.
Kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau. Tetapi walau sudah didukung oleh orang orang Bugis dan Solok, pihak Sambaliung kalah pengalaman dan senjata melawan orang orang Gunung Tabur terlebih karena dibantu Belanda yang bersenjata api.
Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak isteri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua. Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda. Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay.
Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda  diputuskan dibuang ke Makasar.
Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa kedua tawanan ini ke Makasar. Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa serdadunya.  Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar  Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk Indonesia Tengah dan Timur.
Usai mengalahkan Sambaliung dan membuang Raja Alam, Kekuatan Gunung Tabur yang juga dalam keadaan lemah dimamfaatkan Belanda. Entah dengan cara apa Raja Kuning II Gunung Tabur dapat dikuasai dan menyatakan tunduk di bawah perintah Kerajaan Belanda. Beberapa bangsawan yang tak setuju dengan putusan tersebut secara terpisah melarikan diri ke berbagai daerah, bahkan ada yang sampai bersuaka di kerajaan Sabah Malaysia.
Setelah sekian tahun, Raja Kuning II Gunung Tabur akhirnya sadar kalau selama ini mereka secara halus telah dikuasai oleh Belanda. Namun karena kekuatan dan kekuasaan Belanda sudah tak tertandingi, Raja Kuning II tak mampu berbuat apa apa.   Karenanya untuk menjaga  agar kerajaan tetap utuh, hubungan dengan pihak Belanda tetap dijaga dengan segala kepatuhan yang dibuat oleh pihak Belanda.
Suatu ketika Raja Kuning II setelah melakukan perundingan dengan keluarga baik bangsawan Gunung Tabur maupun sisa-sisa bangsawan Sambaliung yang pada dasarnya masih satu keturunan, diputuskan untuk mengembalikan Raja Alam ke Sambaliung dengan pengajukan permohonan pada pihak Belanda.
Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjaga keamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan Belanda.
Oleh pihak Belanda permohonan tersebut dikabulkan dan pada tanggal 24 September 1837 Raja Alam kembali ke Sambaliung bersama pengiringnya. Pertemuan dua keluarga Gunung Tabur dan Sambaliung ini terjalin kembali. Kemudian atas persetujuan Belanda kedua kerajaan tetap saja berdiri sebagaimana asal mula mereka. Namun tentu saja harus berada dibawah kekuasaan dan peraturan yang diberlakukan oleh pihak Belanda. *habis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar